Draft 1 Rancangan Peraturan Pemerintah Bandarudara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN 2010
TENTANG
KEBANDARUDARAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

















4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956).
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEBANDARUDARAAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

2. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan bandar udara dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

3. Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.

4. Bandar Udara Umum adalah bandar udara yang digunakan untuk melayani kepentingan umum.

5. Bandar Udara Khusus adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya.
6. Keselamatan Penerbangan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

7. Keamanan Penerbangan adalah suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada penerbangan dari tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur.

8. Otoritas Bandar Udara adalah lembaga pemerintah yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan pelayanan penerbangan.

9. Unit Penyelenggara Bandar Udara adalah lembaga pemerintah di bandar udara yang bertindak sebagai penyelenggara bandar udara yang memberikan jasa pelayanan kebandarudaraan untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial.

10. Badan Usaha Bandar Udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan bandar udara untuk pelayanan umum.

11. Pemrakarsa adalah badan hukum Indonesia yang mengajukan permohonan untuk untuk penetapan lokasi, melakukan pelaksanaan pembangunan, dan melakukan pengusahaan bandar udara.

12. Konsesi dan/atau bentuk lainnya adalah pemberian hak oleh Menteri kepada badan usaha bandar udara untuk membangun bandar udara dan/atau mengusahakan pelayanan jasa kebandarudaraan dalam jangka waktu tertentu dan/atau bentuk kompensasi tertentu.

13. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

14. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

15. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan penerbangan.

16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

Pasal 2

Ruang lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah ini meliputi:

a. pembangunan dan pengembangan bandar udara;
b. pelestarian lingkungan bandar udara;
c. fasilitasi; dan
d. pemberian sanksi administrasi.

BAB II
PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3

(1) Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

(3) Wujud pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.

(4) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan penerbangan.

Pasal 4

(1) Bandar udara sebagai bangunan gedung dengan fungsi khusus, pembangunannya wajib memperhatikan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, mutu pelayanan jasa kebandarudaraan, kelestarian lingkungan, serta keterpaduan intermoda dan multimoda.

(2) Fungsi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan fungsi bangunan yang dalam pembangunan dan penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat sekitarnya dan mempunyai risiko bahaya tinggi.

(3) Bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

a. bandar udara umum; dan
b. bandar udara khusus.

Pasal 5

Pembangunan dan pengembangan bandar udara harus mempertimbangkan:

a. kebutuhan jasa angkutan udara;
b. pengembangan pariwisata;
c. pengembangan potensi ekonomi daerah dan nasional;
d. keterpaduan intermoda dan multimoda;
e. kepentingan nasional; dan/atau
f. keterpaduan jaringan rute angkutan udara.

Bagian Kedua
Tata Cara Pembangunan Bandar Udara

Paragraf 1
Umum

Pasal 6

(1) Pembangunan bandar udara wajib dilaksanakan berdasarkan penetapan lokasi bandar udara.

(2) Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a. titik koordinat yang dinyatakan dengan koordinat geografis sebagai titik referensi lokasi bandar udara dan disebut sebagai ARP (aerodrome reference point); dan
b. rencana induk bandar udara.

(3) Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Pemrakarsa kepada Menteri.

(4) Pemrakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau badan hukum Indonesia.

(5) Pemrakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melaksanakan pembangunan dan/atau pengusahaan bandar udara.

(6) Pemrakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak boleh memindahkan kewajiban membangun dan/atau mengusahakan kepada pihak lain kecuali dalam keadaan tertentu dan izin Menteri.

(7) Pemrakarsa yang tidak melaksanakan kewajiban membangun dan/atau mengusahakan bandar udara sesuai batas waktu yang ditentukan sesuai dengan peraturan pemerintah ini diambil alih Menteri dan dapat dipindahtangankan kepada pemrakarsa lain setelah melalui mekanisme pelelangan.

Pasal 7

(1) Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:

a. prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo;
b. kebutuhan fasilitas;
c. tata letak fasilitas;
d. tahapan pelaksanaan pembangunan;
e. kebutuhan dan pemanfaatan lahan;
f. daerah lingkungan kerja;
g. daerah lingkungan kepentingan;
h. kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan
i. batas kawasan kebisingan.

(2) Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh pemrakarsa untuk kurun waktu 20 (dua puluh) tahun.

(3) Rencana induk bandar udara yang dibuat oleh pemrakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan dilakukan penilaian.

(4) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan rencana induk bandar udara sebagai lampiran dalam penetapan lokasi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian diatur lebih lanjut dengan dan/atau berdasarkan Peraturan Menteri.

Pasal 8

Daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, daerah keselamatan operasi penerbangan dan batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i dibuat oleh pemrakarsa dan disampaikan kepada Menteri yang merupakan satu kesatuan dalam rencana induk bandar udara.

Pasal 9

(1) Penetapan lokasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 setelah mendapat pertimbangan dari Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten dan pemerintah provinsi terhadap kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah provinsi.

(2) Batas kawasan kebisingan yang merupakan satu kesatuan dalam rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana induk bandar udara, daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan dan batas kawasan kebisingan bandar udara diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11

Rencana induk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas maksimum 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram, bandar udara yang dibangun untuk kebutuhan rawan bencana, bandar udara untuk kepentingan angkutan perintis, dan/atau bandar udara pada lokasi perbatasan, dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan sifat bandar udara.

Paragraf 2
Pembangunan Bandar Udara Umum

Pasal 12

(1) Pembangunan bandar udara umum, harus memenuhi standar keselamatan dan keamanan yang meliputi:

a. standar rancang bangun dan/atau rekayasa fasilitas bandar udara;
b. standar peralatan dan utilitas bandar udara;dan
c. standar kelaikan fasilitas dan peralatan bandar udara.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai, standar rancang bangun dan/atau rekayasa fasilitas bandar udara, standar peralatan dan utilitas bandar udara serta standar kelaikan fasilitas dan peralatan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan dan/atau berdasarkan Peraturan Menteri.

Pasal 13

(1) Pembangunan bandar udara umum dilakukan setelah memperoleh izin mendirikan bangunan bandar udara.

(2) Izin mendirikan bangunan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemrakarsa pembangunan bandar udara kepada Menteri.

(3) Pengajuan izin mendirikan bangunan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:

a. bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;
b. rekomendasi yang diberikan oleh instansi terkait terhadap utilitas dan aksesibilitas dalam penyelenggaraan bandar udara;
c. bukti penetapan lokasi bandar udara;
d. rancangan teknik terinci fasilitas pokok bandar udara;
e. kelestarian lingkungan; dan
f. bukti kemampuan finansial.

(4) Dalam hal Pemerintah sebagai pemrakarsa pembangunan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) izin mendirikan bangunan bandar udara dilaksanakan sesuai dengan mekanisme anggaran DIPA.

(5) Permohonan izin mendirikan bangunan bandar udara diajukan oleh pemrakarsa paling lambat 1(satu) tahun setelah penetapan lokasi oleh Menteri.

Pasal 14

Bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a berupa sertifikat kepemilikan tanah atau sertifikat hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangan di bidang pertanahan.

Pasal 15

Rekomendasi yang diberikan oleh instansi terkait terhadap utilitas dan aksesibilitas dalam penyelenggaraan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf b berupa surat pernyataan dari:

a. Gubernur/Bupati/Walikota tentang jaminan penyediaan prasarana jalan yang digunakan dari dan/ke bandar udara sesuai dengan kewenangannya; dan

b. Instansi yang berwenang untuk menyediakan fasilitas listrik, air minum, drainase, telekomunikasi, informasi, dan bahan bakar.

Pasal 16

Bukti penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c berupa Keputusan Menteri.

Pasal 17

(1) Rancangan teknis terinci fasilitas pokok bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf d paling sedikit memuat mengenai :

a. kondisi tanah dasar;
b. peta topografi;
c. tata letak fasilitas pokok bandar udara, termasuk fasilitas bantu navigasi penerbangan;
d. gambar arsitektur;
e. gambar konstruksi; dan
f. gambar mekanikal, elektrikal dan peralatan navigasi penerbangan.

(2) Rancangan teknik terinci fasilitas pokok bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan pengesahan.

(3) Pengesahan rencangan teknik terinci fasilitas pokok bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan dan/atau berdasarkan Peraturan Menteri.



Pasal 18

Persyaratan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf e ditunjukan dengan adanya dokumen lingkungan.

Pasal 19

Bukti kemampuan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf f paling sedikit berupa:

a. surat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk izin mendirikan bangunan bandar udara yang diprakarsai oleh Pemerintah Daerah.
b. surat dari Kementerian yang bertanggung jawab dibidang usaha milik negara untuk izin mendirikan bangunan bandar udara yang diprakarasi oleh BUMN; dan
c. tanda bukti modal disetor sebesar 5 (lima) persen untuk izin mendirikan bangunan bandar udara yang diprakarsai oleh badan hukum Indonesia.

Pasal 20

(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Menteri melakukan evaluasi atas persyaratan permohonan mendirikan bangunan bandar udara.

(2) Berdasarkan hasil evaluasi persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap, dapat menerima atau menolak permohonan tersebut.

(3) Apabila hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) persyaratan yang diajukan tidak memenuhi syarat, Menteri mengembalikan permohonan kepada pemohon.

(4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dikembalikan, kepada Menteri setelah persyaratan dipenuhi.

(5) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dipenuhi, Menteri menetapkan izin mendirikan bangunan bandar udara.



Pasal 21

Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Miik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan badan hukum Indonesia dalam mendirikan bangunan bandar udara diwajibkan :

a. mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang keamanan dan keselamatan penerbangan serta pengelolaan lingkungan;
b. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan bandar udara yang bersangkutan;
c. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara umum sesuai dengan rencana induk bandar udara;
d. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara umum paling lambat 1 (satu) tahun sejak izin mendirikan bangunan bandar udara ditetapkan;
e. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara umum sesuai dengan jadwal dan tahapan pembangunan/pengembangan dalam rencana induk bandar udara;
f. melaporkan perkembangan kegiatan pembangunan bandar udara umum setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri sesuai kewenangannya;
g. melaporkan setelah selesai pembangunan kepada Menteri; dan
h. Bandar udara umum dapat dioperasikan setelah memperoleh sertifikat bandar udara.

Pasal 22

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara umum diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Pembangunan Bandar Udara Khusus

Pasal 23

(1) Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan hukum Indonesia dapat membangun bandar udara khusus setelah mendapat izin mendirikan bangunan bandar udara.

(2) Ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan pada bandar udara khusus berlaku sebagaimana ketentuan pada bandar udara umum.


Pasal 24

Pembangunan bandar udara khusus dapat dilakukan setelah memperoleh izin mendirikan bangunan bandar udara dari Menteri.

Pasal 25

(1) Izin mendirikan bangunan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 23, diberikan berdasarkan permohonan yang harus dilengkapi dengan persyaratan :

a. bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;
b. rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat;
c. rancangan teknis terinci fasilitas pokok;
d. kelestarian lingkungan; dan
e. bukti kegiatan usaha pokok.

(2) Bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa sertifikat kepemilikan tanah atau sertifikat hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangan di bidang pertanahan; dan

(3) Rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa surat persetujuan Pemerintah Daerah untuk pembangunan bandar udara khusus.

(4) rancangan teknis terinci fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa:

a. untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas maksimum 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas lebih dari 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram paling sedikit terdiri dari:

1) rancangan awal/konsep desain bandar udara; dan
2) kajian keselamatan penerbangan yang telah disahkan.

b. untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas lebih dari 5700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram, paling sedikit terdiri dari:

1) rancangan awal/konsep desain bandar udara; dan
2) rancangan teknik terinci fasilitas pokok bandar udara, yang telah mendapat pengesahan;

3) kajian keselamatan penerbangan yang telah disahkan; dan

4) rancangan fasilitas keamanan dan penanggulangan terhadap gawat darurat di bandar udara.

(5) Persyaratan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa kepemilikan dokumen lingkungan.

(6) Bukti kegiatan usaha pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :

a. akte pendirian perusahaan;
b. izin usaha pokok dari instansi terkait;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
d. bukti kemampuan finasial.

(7) Ketentuan lebih kanjut mengenai rancangan teknik terinci fasilitas pokok bandar udara dan kajian keselamatan penerbangan diatur lebih lanjut dengan dan/atau berdasarkan Peraturan Menteri.

Pasal 26

(1) Permohonan izin mendirikan bangunan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diajukan secara tertulis kepada Menteri.

(2) Berdasarkan permohonan izin mendirikan bangunan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan evaluasi atas persyaratan permohonan pembangunan bandar udara khusus.

(3) Berdasarkan hasil evaluasi persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap dapat menerima atau menolak permohonan tersebut.

(4) Apabila hasil evaluasi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi syarat, Menteri mengembalikan permohonan kepada pemohon.

(5) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dikembalikan, kepada Menteri setelah persyaratan dipenuhi.

(6) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) telah terpenuhi, Menteri menetapkan izin mendirikan bangunan bandar udara khusus.

Pasal 27

Pemegang izin bandar udara khusus dalam melaksanakan pembangunan bandar udara khusus wajib:

a. mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang kebandarudaraan, keamanan dan keselamatan penerbangan serta pengelolaan lingkungan;

b. mentaati peraturan perundang-undangan dari instansi pemerintah lainnya yang berhubungan dengan bidang tugas/usaha pokoknya;

c. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan bandar udara khusus yang bersangkutan;

d. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara khusus sesuai dengan rencana induk bandar udara;

e. melaporkan perkembangan kegiatan pembangunan bandar udara khusus setiap bulan kepada Menteri;

f. melaporkan setelah selesai pembangunan kepada Menteri; dan

g. bandar udara khusus dapat dioperasikan setelah memperoleh Sertifikat Bandar Udara.


Paragraf 4
Pembangunan tempat pendaratan dan lepas landas
helikopter (heliport)

Pasal 28

(1) Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport) terdiri atas:

a. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter didaratan (surface level heliport);
b. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas gedung (elevated heliport); dan

c. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diperairan (helideck).

(2) Izin mendirikan bangunan tempat pendaratan dan lepas landas helikopter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah setempat setelah memperoleh pertimbangan teknis dari Menteri.

(3) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi aspek:

a. penggunaan ruang udara;

b. rencana jalur penerbangan ke dan dari tempat pendaratan dan lepas landas helikopter; dan

c. standar teknis operasional keselamatan dan keamanan penerbangan.

Pasal 29

(1) Setiap tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan.

(2) Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan register oleh Menteri.

Pasal 30

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin mendirikan bangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5
Pembangunan Bandar Udara Perairan

Pasal 31

(1) Bandar udara perairan dapat berada di
a. perairan laut; dan
b. perairan sungai atau danau.


(2) Bandar udara perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan aspek keselamatan pelayaran dan penerbangan.


(3) Izin mendirikan bangunan bandar udara perairan yang digunakan untuk melayani penerbangan umum sesuai ketentuan untuk bandar udara umum, dan dapat diberikan setelah mendapatkan hasil kajian teknis yang telah disahkan.


(4) Izin mendirikan bangunan bandar udara perairan yang digunakan untuk melayani penerbangan bersifat khusus sesuai ketentuan untuk Bandar udara Khusus, dan dapat diberikan setelah mendapatkan hasil kajian teknis yang telah disahkan.

(5) Ketentuan lebih kanjut mengenai hasil kajian teknis diatur lebih lanjut dengan dan/atau berdasarkan Peraturan Menteri.

Pasal 32

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pembangunan bandar udara di perairan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan Pembangunan Bandar Udara

Pasal 33

(1) Pembangunan bandar udara dilakukan melalui pembiayaan pemrakarsa.

(2) Pelaksanaan pembangunan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah dikeluarkannya izin mendirikan bangunan bandar udara.

Pasal 34

Pemrakarsa sebagimana dimaksud dalam Pasal 33, dalam membangun bandar udara wajib :

a. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dikeluarkannya izin pembangunan;

b. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara sesuai dengan Rencana Induk bandar udara yang telah ditetapkan;

c. melaporkan pelaksanaan kegiatan pembangunan bandar udara secara berkala kepada Menteri, dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan

d. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan bandar udara yang bersangkutan.

Pasal 35

(1) Pembangunan bandar udara yang dibiayai oleh Pemerintah selaku pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dilakukan melalui pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

(2) Pembangunan bandar udara yang menggunakan pendanaan melalui APBN sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap:

a. bandar udara yang belum diusahakan;
b. bandar udara di daerah yang berada di wilayah terisolasi, dan perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); atau
c. bandar udara di daerah rawan bencana.

Pasal 36

Pembangunan bandar udara yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah selaku pemrakarsa sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (1) dilakukan melalui pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pasal 37

(1) Pendanaan pembangunan bandar udara dapat dilakukan secara bersama melalui pembiayaan yang bersumber dari APBN dan APBD secara proporsional dan berdasarkan kesepakatan.

(2) Pembiayaan yang bersumber dari APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk biaya pembangunan fasilitas sisi udara.

(3) Fasilitas sisi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:

a. landas pacu (runway);
b. runway strip, runway end safety area (RESA),stopway, clearway;
c. landas hubung (taxiway);
d. landas parkir (apron);
e. marka dan rambu; dan
f. taman meteo (fasilitas dan peralatan pengamatan cuaca).

Pasal 38

(1) Bandar udara yang dibangun dengan menggunakan biaya APBN diselenggarakan oleh Pemerintah dan dapat diserahkan kepada Pemerintah Propinsi.

(2) Bandar udara yang dibangun dengan menggunakan APBD Pemerintah Daerah atau Pemerintah Propinsi dan/atau pemerintah dearah kabupaten/kota diselenggarakan oleh pemerintah daerah, provinsi dan/atau kabupaten kota.

(3) Bandar udara yang dibangun menggunakan APBN dan APBD secara proporsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 penyelenggaraannya dapat dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kesepakatan bersama berdasarkan proporsi pembiayaan.

Pasal 39

(1) Bandar udara yang telah dibangun dapat dilakukan kegiatan pengusahaan berupa:

a. pelayanan jasa kebandarudaraan; dan
b. pelayanan jasa terkait bandar udara.

(2) Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang, dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan:

a. fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manuver, parkir, dan penyimpanan pesawat udara;
b. fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo, dan pos;
c. fasilitas elektronika, listrik, air, dan instalasi limbah buangan; dan
d. lahan untuk bangunan, lapangan, dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara.

(3) Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusahakan oleh pemrakarsa.

(4) Pelayanan Jasa terkait bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :

a. jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan operasi pesawat udara di bandar udara.
b. jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang.
c. jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan bandar udara.

(5) Pelayanan jasa terkait bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diusahakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia bekerja sama dengan pemrakarsa.

Pasal 40

(1) Pemrakarsa pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dapat mengoperasikan bandar udara setelah mendapat sertifikat atau register dari Menteri setelah memenuhi persyaratan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat dan register bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 41

(1) Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial oleh pemrakarsa berbentuk badan usaha bandar udara diselenggarakan berdasarkan konsesi dan/atau bentuk lainnya yang diberikan oleh Menteri.

(2) Pelaksanaan pemberian konsesi dan/atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kelompok kerja yang dibentuk melalui Keputusan Menteri.

Pasal 42

(1) Konsesi dan/atau bentuk lainnya dilakukan terhadap bandar udara yang hak atas tanahnya dikuasai oleh Pemerintah atau oleh badan usaha bandar udara.

(2) Pengenaan dan perhitungan kompensasi dalam pemberian konsesi dan/atau bentuk lainnya diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri.

Pasal 43

Pelayanan jasa kebandarudaraan yang dilakukan berdasarkan konsesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) merupakan seluruh pelayanan jasa kebandarudaraan secara utuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2).
Pasal 44

(1) Konsesi diberikan kepada badan usaha bandar udara untuk kegiatan pelayanan jasa kebandarudaraan dituangkan dalam bentuk perjanjian.

(2) Pemberian konsesi kepada badan usaha bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Jangka waktu konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar.

(4) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a. lingkup pengusahaan;
b. masa konsesi pengusahaan;
c. tarif awal dan formula penyesuaian tarif;
d. hak dan kewajiban para pihak, termasuk resiko yang dipikul para pihak dimana alokasi resiko harus didasarkan pada prinsip pengalokasian resiko secara efisien dan seimbang;
e. standar kinerja pelayanan serta prosedur penanganan keluhan masyarakat;
f. sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi perjanjian pengusahaan;
g. penyelesaian sengketa;
h. pemutusan atau pengakhiran perjanjian pengusahaan;
i. sistem hukum yang berlaku terhadap perjanjian pengusahaan adalah hukum Indonesia;
j. keadaan kahar;
k. pengaturan kerjasama dengan pihak ketiga; dan
l. perubahan-perubahan.


Pasal 45

(1) Dalam hal masa konsesi telah berakhir, jasa kebandarudaraan hasil konsesi beralih atau diserahkan kembali kepada penyelenggara bandar udara.

(2) Jasa kebandarudaraan yang sudah beralih kepada penyelenggara bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengelolaannya diberikan kepada badan usaha bandar udara untuk kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kebandarudaraan berdasarkan kerjasama pemanfaatan melalui mekanisme pelelangan.

(3) Badan usaha bandar udara yang telah ditetapkan melalui mekanisme pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melaksanakan kegiatan pengusahaannya di bandar udara harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Kerjasama pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian kerjasama pemanfaatan ditandatangani.

Pasal 46

(1) Pendapatan konsesi dan kompensasi merupakan penerimaan negara yang penggunaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerima pendapatan konsesi dan kompensasi diatur lebih lanjut dengan dan/atau berdasarkan Peraturan Menteri.

Pasal 47

Pemberian konsesi kepada badan usaha bandar udara yang sudah menyelenggarakan bandar udara sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan dilakukan tidak melalui mekanisme pelelangan.

Pasal 48

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.



Bagian Keempat
Pengembangan Bandar Udara

Pasal 49

(1) Badan usaha bandar udara yang telah memperoleh ijin untuk mengoperasikan bandar udara dapat mengajukan permohonan pengembangan bandar udara.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, dan pelaksanaan konstruksi terhadap bandar udara yang sudah ada dengan tetap memperhatikan aspek operasional bandar udara.

(3) Pengembangan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam hal:

a. terdapat perubahan lingkungan strategis;
b. peningkatan permintaan kebutuhan angkutan udara; dan
c. peningkatan kapasitas untuk pelayanan

(4) Pengembangan Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memerlukan izin mendirikan bangunan bandar udara dan hanya diberikan persetujuan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan diatur lebih lanjut dengan dan/atau berdasarkan Peraturan Menteri

Pasal 50

(1) Pemerintah daerah dapat mengembangkan bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara atau badan usaha bandar udara yang berada diwilayahnya setelah mendapat persetujuan dari penyelenggara yg bersangkutan terlebih dahulu.

(2) Hasil pengembangan bandar udara yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah pada bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan diserahkan kepada Menteri melalui proses pengalihan status aset sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Pengembangan bandar udara yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah pada bandar udara yang diselenggarakan oleh badan usaha bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diserahkan kepada badan usaha bandar udara berdasarkan kesepakatan.

Pasal 51

(1) Pemerintah dapat mengembangkan bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara daerah atau badan usaha bandar udara.

(2) Hasil pengembangan bandar udara yang dilakukan oleh Pemerintah pada bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya dihibahkan kepada pemerintah daerah.

(3) Pengembangan bandar udara yang dilakukan oleh Pemerintah pada bandar udara yang diselenggarakan oleh badan usaha bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diserahkan kepada badan usaha bandar udara dalam bentuk penyertaan modal negara.

Pasal 52

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pengembangan bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Kelima
Kelaikan Fasilitas dan Peralatan Bandar Udara

Pasal 53

Fasilitas dan peralatan bandar udara yang telah dibangun atau dikembangkan wajib dilakukan verifikasi dan pengecekan kinerja sebelum dioperasikan.

Pasal 54

Dalam hal terdapat peningkatan kapasitas pokok bandar udara atau perubahan sebagian fasilitas bandar udara dari hasil pengembangan bandar udara, harus dilakukan verifikasi untuk penyesuaian sertifikat tanda kelaikan fasilitas dan peralatan bandar udara.








BAB III
PELESTARIAN LINGKUNGAN BANDAR UDARA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 55

(1) Pelestarian lingkungan bandar udara bertujuan:

a. melindungi bandar udara dan sekitarnya dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan dan kesehatan kehidupan manusia di bandar udara dan sekitarnya;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem di bandar udara dan sekitarnya;
d. mencapai keterpaduan, keserasian, keselarasan lingkungan hidup di bandar udara dan sekitarnya;
e. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup masyarakat disekitar Bandar udara;
f. mewujudkan pembangunan Bandar udara yang berkelanjutan; dan
g. mewujudkan bandar udara yang mempunyai visi global lingkungan hidup.

(2) Setiap Bandar udara wajib membuat dokumen lingkungan hidup sesuai peraturan yang berlaku untuk melaksanakan pelestarian lingkungan.

(3) Dokumen lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :

a. dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL);
b. dokumen Pengelolaan Dan Pemantauan Lingkungan Hidup (DPPL);
c. dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH);
d. dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH);
e. dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL); atau
f. dokumen pengelolaan lingkungan hidup yang setara dan sesuai dengan peraturan.




Bagian Kedua
Kebisingan Bandar Udara

Pasal 56

Perencanaan, pembangunan, penetapan dan penataan penggunaan tanah dan perairan yang terletak di sekitar bandar udara dilakukan dengan memperhatikan tingkat kebisingan dan baku mutu.

Pasal 57

(1) Tingkat kebisingan di bandar udara dan sekitarnya ditentukan dengan indeks kebisingan WECPNL (Weighted Equivalent Continuous Perceived Noise Level) atau nilai ekuivalen tingkat kebisingan di suatu area yang dapat diterima terus menerus selama suatu rentang waktu dengan pembobotan tertentu.

(2) Tingkat kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 3 (tiga) tingkat kebisingan yang dalam setiap tingkat kebisingan dinyatakan dengan suatu tingkat kawasan kebisingan.

(3) Tingkat kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri dari :

a. Kawasan kebisingan tingkat I yang merupakan tingkat kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara (Weight Equivalent Continous Perceived Noise Level/WECPNL) lebih besar atau sama dengan 70 (tujuh puluh) dan lebih kecil dari 75 (tujuh puluh lima);

b. Kawasan kebisingan tingkat II yang merupakan tingkat kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara (Weight Equivalent Continous Perceived Noise Level/WECPNL) lebih besar atau sama dengan 75 (tujuh puluh lima) dan lebih kecil dari 80 (depalan puluh);

c. Kawasan kebisingan tingkat III yang merupakan tingkat kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara lebih besar atau sama dengan 80 (depalan puluh).

Pasal 58

(1) Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menjaga tingkat kebisingan dan baku mutu di bandar udara dan sekitarnya sesuai dengan batas kawasan kebisingan yang ditetapkan oleh Menteri.

(2) Untuk menjaga batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha bandar udara wajib:

a. wajib mengawasi dan melaporkan setiap pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan melebihi batas kawasan kebisingan yang ditetapkan;
b. dapat membatasi waktu dan frekuensi, atau menolak pengoperasian pesawat udara.

(3) Untuk menjaga baku mutu besar kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pesawat udara yang beroperasi di bandar udara, dilarang menimbulkan besaran kebisingan melebihi……..desibel

Pasal 59

Hasil pengelolaan dan pemantauan batas kawasan kebisingan menjadi satu bagian laporan pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup di bandar udara.

Pasal 60

Untuk menjamin terlaksanannya pelaksanaan batas kawasan kebisingan, Pemerintah Daerah wajib mengendalikan daerah batas kebisingan bandar udara dengan peraturan daerah.

Pasal 61

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan, pengukuran, pemantauan, pengelolaan tingkat kebisingan bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pencemaran Lingkungan Bandar Udara

Pasal 62

Pencemaran lingkungan bandar udara wajib dikendalikan supaya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan di bandar udara dan sekitarnya sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan Pemerintah.

Pasal 63

(1) Pencemaran lingkungan di bandar udara dan sekitarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, terdiri atas :
a. pencemaran udara;
b. pencemaran air; dan
c. pencemaran tanah.

(2) Pencemaran udara di bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diakibatkan antara lain oleh:

a. emisi gas buang pengoperasian pesawat udara.
b. emisi gas buang dari peralatan dan/atau kendaraan bermotor di sisi darat dan sisi udara.

(3) Pencemaran air di bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diakibatkan oleh:

a. limbah cair kegiatan operasional bandar udara yaitu dari pesawat udara, gedung terminal, operasi, perkantoran, jasa boga;
b. limbah cair dari kegiatan pembangunan atau pengembangan bandar udara; dan
c. limbah barang berbahaya dan beracun (B3).

(4) Pencemaran tanah di bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diakibatkan oleh :

a. minyak pelumas/ceceran oli bekas sisa pemeliharaan pesawat udara;
b. limbah cair dari operasional dan pembangunan atau pengembangan bandar udara;
c. penggunaan zat-zat kimia dari operasional dan pembangunan atau pengembangan bandar udara; dan
d. limbah barang berbahaya dan beracun (B3).

Pasal 64

(1) Limbah barang berbahaya dan beracun akibat operasional bandar udara harus dilakukan pengelolaan dan harus dilakukan pemantauan lingkungan serta penanggulangan dampak negatif yang mungkin timbul akibat keluarnya limbah barang berbahaya dan beracun.

(2) Dilarang membuang limbah barang berbahaya dan beracun secara langsung ke dalam media lingkungan bandar udara tanpa mengolah terlebih dahulu.



Pasal 65

(1) Pengendalian pencemaran lingkungan bandar udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta melakukan pemulihan mutu lingkungan akibat pencemaran lingkungan di bandar udara dan sekitarnya.

(2) Pengendalian pencemaran lingkungan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan :

a. melaksanakan perawatan fasilitas bandar udara sesuai SOP;
b. mengurangi sebaran cemaran seminimal mungkin.

(3) Pengendalian pencemaran dan menjaga ambang batas pencemaran di bandar udara dan sekitarnya menjadi tanggung jawab badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara.

Pasal 66

Hasil pengelolaan dan pementauan pencemaran di bandar udara menjadi satu bagian laporan pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan bandar udara.

Pasal 67

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran lingkungan bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Keempat
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Bandar Udara

Pasal 68

(1) Pengelolaan dan pemantauan lingkungan bandar udara sekurang-kurangnya dilakukan terhadap komponen :

a. udara;
b. energi;
c. kebisingan;
d. air;
e. tanah;
f. limbah; (cair, padat)
g. lingkungan alamiah (Natural Environment); dan/atau
h. sosial ekonomi budaya dan kesehatan masyarakat (sosekbudkesmas).

(2) Pengelolaan dan pemantauan lingkungan bandar udara terhadap komponen-komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk :

a. menjaga kualitas udara sesuai mutu yang ditetapkan pemerintah; mengurangi tingkat pencemaran dan kebauan; mengurangi emisi gas buang yang dapat mengakibatkan pencemaran bandar udara.
b. mengoptimalkan penggunaan dan penghematan energi;
c. mengendalikan kebisingan agar sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan pemerintah;
d. menjaga kualitas air agar sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan pemerintah;
e. menjaga kualitas tanah dan mengendalikan pencemaran tanah akibat limbah cair dan limbah padat;
f. mengendalikan dan mengolah limbah cair dan padat agar sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan pemerintah dan dapat dimanfaatkan kembali;
g. mempertahankan kelestarian flora/fauna yang dilindungi di bandar udara dengan memperhatikan persyaratan keselamatan operasi penerbangan termasuk pengendalian burung dan hewan liar serta pengendalian benda tumbuh sesuai ketentuan kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan/atau
h. mengupayakan pemberdayaan masyarakat di sekitar bandar udara dalam kegiatan di bandar udara.

Pasal 69

Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib :

a. melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan di bandar udara dan sekitarnya;

b. menyampaikan laporan hasil pengelolaan dan pemantauan lingkungan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.






Pasal 70

(1) Setiap bandar udara wajib menerapkan bandar udara ramah lingkungan (eco airport) yang meliputi:

a. membentuk dan menetapkan Dewan Pengelola lingkungan Hidup bandar udara ( Eco Airport Council );
b. menetapkan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan Hidup bandar udara ( Airport Environmental Plan);
c. melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bandar udara;
d. mengevaluasi hasil pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bandar udara yang telah dilaksanakan; dan
e. melaporkan kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup kepada.

(2) Penerapan ecoairport sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertahap berdasarkan:

a. kapasitas pesawat udara; dan
b. penggunaan bandar udara.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan, penerapan ecoairport, dan penyampaian laporan diatur lebih lanjut dengan dan/atau berdasarkan Peraturan Menteri.


BAB IV

FASILITASI

Pasal 71

Untuk menunjang kelancaran kegiatan arus penumpang, bagasi, kargo dan pos serta dokumen pada penerbangan internasional Menteri berwenang untuk:

a. membentuk komite fasilitasi nasional (FAL/national transport facilitation committee);

b. mengawasi pelaksanaan program komite fasilitasi nasional.

Pasal 72

Komite nasional fasilitasi (FAL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a, mempunyai tugas:

a. mengkoordinasikan pelaksanaan program fasilitasi nasional;

b. menyelesaikan permasalahan angkutan udara bersifat nasional;

c. mengevaluasi pelaksanaan implementasi peraturan perundang-undangan baik bersifat nasional maupun internasional di bandar udara;

d. menyusun program komite fasilitasi nasional tahunan (annual facilitation program) yang disahkan oleh Menteri;

e. melaporkan perosedur dan ketentuan kepada Dewan International Civil Aviation Organization (ICAO) berkaitan dengan kelancaran arus pesawat udara, penumpang, bagasi, kargo dan pos serta dokumen pada penerbangan di bandar udara secara nasional.

Pasal 73

Program fasilitasi nasional (FAL) tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf d paling sedikit memuat :

a. sasaran program fasilitasi nasional;

b. sistem dan prosedur arus lalu lintas penumpang, kargo dan pesawat udara di bandar udara secara nasional;

c. mekanisme koordinasi antar institusi untuk kelancaran arus lalu lintas penumpang, kargo dan pesawat;

d. perlindungan bandar udara, dan pesawat udara;

e. pengendalian dan penjaminan keamanan terhadap orang dan barang; dan

f. penanggulangan tindakan melawan hukum.

Pasal 74

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Komite Fasilitasi Nasional (National Facilitation Committee) mempunyai fungsi:

a. menyelesaikan permasalahan secara nasional hal-hal yang berkaitan dengan kelancaran arus awak pesawat udara, penumpang, bagasi, kargo dan pos serta dokumen pada kegiatan penerbangan internasional;

b. mempelajaari ketentuan-ketentuan secara internasional yang terkait dengan FAL dan merekomendasikan kepada pemerintah untuk ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan secara nasional;

c. mengevaluasi dan menelaah pelaksanaan atau implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan FAL dan mengusulkan penyempurnaan, pencabutan atau penetapan;

d. melaporkan atau menyampaikan kepada ICAO tentang prosedur dan peraturan yang terkait dengan fasilitasi (FAL);

e. terlibat langsung dan memberikan masukan dalam Konvensi Internasional yang terkait dengan fasilitasi FAL;

f. pengawasan, pengendalian dan mengkoordinasikan serta memberikan masukan terhadap pelaksanaan FAL di bandar udara;

g. melaporkan kegiatan komite fasilitasi (FAL) pada tingkat nasional (national air transport facilitation comitttee) kepada Menteri Perhubungan setiap 1 (satu) tahun sekali.

Pasal 75

(1) Dalam melaksanakan program fasilitasi nasional, Pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan negara lain.

(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pertukaran informasi; dan
b. pendidikan dan pelatihan.

Pasal 76

Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan serta tugas Komite FAL tingkat nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 77

Pemerintah Daerah Propinsi atau Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 huruf d tidak melakukan pembangunan bandar udara secara nyata selama 1 (satu) tahun izin pembangungan bandar udara yang diterbitkan tidak berlaku dengan sendirinya.
Pasal 78

Setiap badan usaha bandar udara yang tidak dapat menjaga batas kawasan kebisingan akibat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat 2 dikenakan sanksi berupa:

a. peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan; dan

b. apabila peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf a, tidak ditaati dikenakan denda administrasi.

Pasal 79

(1) Setiap badan usaha angkutan udara dan perusahaan angkutan udara yang mengoperasikan pesawat udara melebihi ambang batas baku mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dikenakan sanksi berupa denda administrasi.

(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengenaanya dilakukan oleh Otoritas Bandar Udara.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 80

Dalam hal izin pembangunan bandar udara yang diterbitkan tidak belaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 maka wajib dilakukan pengajuan permohonan kembali.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 81

(1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan bandar udara tetap menyelenggarakan kegiatan izin pembangunan bandar udara dan lingkungan hidup bandar udara berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

(2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, kegiatan ijin pembangunan bandar udara yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 82

(1) Bandar udara yang sudah mempunyai penetapan lokasi, rencana induk bandar udara, daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan, izin membangun bangunan bandar udara, pada saat Peraturan Pemerintah ini diundangkan dinyatakan masih berlaku sesuai dengan masa lakunya.

(2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 83

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai bandar udara dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 84

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4146) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.





Pasal 85

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan :
pada tanggal :
-----------------------------------------------------------
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

RPP Kebandarudaraan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR       TAHUN  2010
TENTANG
KEBANDARUDARAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,











                                                  



MEMUTUSKAN :

Menetapkan   :        PERATURAN PEMERINTAH TENTANG                                                            KEBANDARUDARAAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
















Pasal 2

Ruang lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah ini meliputi:


BAB II
PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3





Pasal 4





Pasal 5

Pembangunan dan pengembangan bandar udara harus mempertimbangkan:


Bagian Kedua
Tata Cara Pembangunan Bandar Udara

Paragraf 1
Umum

Pasal 6









Pasal 7







Pasal 8

Daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, daerah keselamatan operasi penerbangan dan batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i dibuat oleh pemrakarsa dan disampaikan kepada Menteri yang merupakan satu kesatuan dalam rencana induk bandar udara.

Pasal 9



Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana induk bandar udara, daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan dan batas kawasan kebisingan bandar udara diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11

Rencana induk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas maksimum 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram, bandar udara yang dibangun untuk kebutuhan rawan bencana, bandar udara untuk kepentingan angkutan perintis, dan/atau bandar udara pada lokasi perbatasan, dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan sifat bandar udara.

Paragraf 2
Pembangunan Bandar Udara Umum

Pasal 12

 


Pasal 13







Pasal 14

Bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a berupa sertifikat kepemilikan tanah atau sertifikat hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangan di bidang pertanahan.

Pasal 15

Rekomendasi yang diberikan oleh instansi terkait terhadap utilitas dan aksesibilitas dalam penyelenggaraan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf b berupa surat pernyataan dari:

           

Pasal 16

Bukti penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c berupa Keputusan Menteri.

Pasal 17







Pasal 18

Persyaratan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf e ditunjukan dengan adanya dokumen lingkungan.

Pasal 19

Bukti kemampuan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf f paling sedikit berupa:


Pasal 20








Pasal 21

Pemerintah, Pemerintah Daerah,  Badan Usaha Miik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan badan hukum Indonesia dalam mendirikan bangunan bandar udara diwajibkan :


Pasal 22

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara umum diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Pembangunan Bandar Udara Khusus

Pasal 23




Pasal 24

Pembangunan bandar udara khusus dapat dilakukan setelah memperoleh izin mendirikan bangunan bandar udara dari Menteri.

Pasal 25
















Pasal 26







Pasal 27

Pemegang izin bandar udara khusus dalam melaksanakan pembangunan bandar udara khusus wajib:









Paragraf 4
Pembangunan tempat pendaratan dan lepas landas
helikopter (heliport)

Pasal  28


a.         tempat pendaratan dan lepas landas helikopter didaratan (surface level heliport);
b.         tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas gedung (elevated heliport); dan

c.         tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diperairan (helideck).



a.         penggunaan ruang udara;

b.         rencana jalur penerbangan ke dan dari tempat pendaratan dan lepas landas helikopter; dan

c.         standar teknis operasional keselamatan dan keamanan penerbangan.

Pasal 29



Pasal 30

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin mendirikan bangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5
Pembangunan Bandar Udara Perairan

Pasal 31









Pasal 32

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pembangunan bandar udara di perairan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan Pembangunan Bandar Udara

Pasal  33



Pasal 34

Pemrakarsa sebagimana dimaksud dalam Pasal 33, dalam membangun bandar udara wajib :





Pasal 35




Pasal 36

Pembangunan bandar udara yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah selaku pemrakarsa sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (1) dilakukan melalui pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pasal 37





Pasal 38




Pasal 39




a.         fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manuver,  parkir, dan penyimpanan pesawat udara;
b.         fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo, dan pos;
c.         fasilitas elektronika, listrik, air, dan instalasi limbah buangan; dan
d.         lahan untuk bangunan, lapangan, dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara.




  
Pasal 40


 
Pasal 41



Pasal 42


  
Pasal 43

Pelayanan jasa kebandarudaraan yang dilakukan berdasarkan konsesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) merupakan seluruh pelayanan jasa kebandarudaraan secara utuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2).
Pasal 44







Pasal 45





Pasal 46

Ketentuan lebih lanjut mengenai penerima pendapatan konsesi dan kompensasi diatur lebih lanjut dengan dan/atau berdasarkan Peraturan Menteri.

Pasal 47

Pemberian konsesi kepada badan usaha bandar udara yang sudah menyelenggarakan bandar udara sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan dilakukan tidak melalui mekanisme pelelangan. 

Pasal 48

Ketentuan  lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.



Bagian Keempat
Pengembangan Bandar Udara

Pasal 49

           




Pasal 50




Pasal 51




Pasal 52

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pengembangan bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Kelima
Kelaikan Fasilitas dan Peralatan Bandar Udara

Pasal 53

Fasilitas dan peralatan bandar udara yang telah dibangun atau dikembangkan wajib dilakukan verifikasi dan pengecekan kinerja sebelum dioperasikan.

Pasal 54

Dalam hal terdapat peningkatan kapasitas pokok bandar udara atau perubahan sebagian fasilitas bandar udara dari hasil pengembangan bandar udara, harus dilakukan verifikasi untuk penyesuaian sertifikat tanda kelaikan fasilitas dan peralatan bandar udara.








BAB III
PELESTARIAN LINGKUNGAN BANDAR UDARA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 55









Bagian Kedua
Kebisingan Bandar Udara

Pasal 56

Perencanaan, pembangunan, penetapan dan penataan penggunaan tanah dan perairan yang terletak di sekitar bandar udara dilakukan dengan memperhatikan tingkat kebisingan dan baku mutu.

Pasal 57







Pasal 58





Pasal 59

Hasil pengelolaan dan pemantauan batas kawasan kebisingan menjadi satu bagian laporan pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup di bandar udara.

Pasal 60

Untuk menjamin terlaksanannya pelaksanaan batas kawasan kebisingan, Pemerintah Daerah wajib mengendalikan daerah batas kebisingan bandar udara dengan peraturan daerah. 

Pasal 61

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan, pengukuran, pemantauan, pengelolaan tingkat kebisingan bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pencemaran  Lingkungan Bandar Udara

Pasal 62

Pencemaran lingkungan bandar udara wajib dikendalikan supaya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan di bandar udara dan sekitarnya sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan Pemerintah.

Pasal 63

(1)       Pencemaran lingkungan di bandar udara dan sekitarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62,  terdiri atas :
a.         pencemaran udara;
b.         pencemaran air; dan
c.         pencemaran tanah.







Pasal 64





Pasal 65





Pasal 66

Hasil pengelolaan dan pementauan pencemaran di bandar udara menjadi satu bagian laporan pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan bandar udara. 

Pasal 67

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran lingkungan bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Keempat
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Bandar Udara

Pasal 68





Pasal 69

Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib : 








Pasal 70







BAB IV

FASILITASI

Pasal 71

Untuk menunjang kelancaran kegiatan arus penumpang, bagasi, kargo dan pos serta dokumen pada penerbangan internasional Menteri berwenang untuk:



Pasal 72

Komite nasional fasilitasi (FAL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a, mempunyai tugas:






Pasal 73

Program fasilitasi nasional (FAL) tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf d paling sedikit memuat :







Pasal 74

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Komite Fasilitasi Nasional (National Facilitation Committee) mempunyai fungsi:








Pasal 75




Pasal 76

Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan serta tugas Komite FAL tingkat nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V
SANKSI ADMINISTRASI
           
Pasal 77

Pemerintah Daerah Propinsi atau Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 huruf  d tidak melakukan pembangunan bandar udara secara nyata selama 1 (satu) tahun izin pembangungan bandar udara yang diterbitkan tidak berlaku dengan sendirinya.
Pasal 78
           
Setiap badan usaha bandar udara yang tidak dapat menjaga batas kawasan kebisingan akibat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat 2 dikenakan sanksi berupa:



                Pasal 79



BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 80

Dalam hal izin pembangunan bandar udara yang diterbitkan tidak belaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 maka wajib dilakukan pengajuan permohonan kembali.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 81



Pasal 82



BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 83

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang‑undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai bandar udara dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 84

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4146) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.





Pasal 85


      Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan               :
pada tanggal            :
-----------------------------------------------------------                                                                   
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO